Menyelenggarakan Acara Aqiqah

 

Sebagai rasa syukur atas nikmat yang diberikan kepada kita, terutama anugerah kelahiran seorang anak, maka kita perlu menyelenggarakan acara aqiqah. Menurut Ibnu al-Qayyim, dalamTuhfat Al-Maudud fî Ahkam al-Maulud, disebutkan bahwa aqiqah, di samping sebagai rasa syukur kepada Allah Swt. atas nikmat kelahiran anak, juga sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Swt., melatih sifat pemurah, dan mengalahkan sifat kikir yang ada dalam hati manusia.

Aqiqah berasal dari kata ‘Aqqa yang berarti memutus, memotong, membelah, atau melubangi. Adapun maknanya secara syariat adalah menyembelih hewan (kambing) pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi. Pada saat aqiqah ini pula dicukur rambut sang bayi dan diberi nama.

Hukum Aqiqah

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, hukum menyelenggarakan aqiqah ini adalah sunnah muakkad, yakni sunnah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan. Mengenai disyariatkannya aqiqah ini, marilah kita perhatikan sebuah hadits dari Samurah bin Junduh r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

“Setiap bayi digadaikan oleh aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

Demikian halnya dengan sebuah hadits dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabiy, dia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

“Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya (mencukur rambutnya).” (HR Bukhari).

Kapan Waktunya?

Berdasarkan hadits yang disebutkan di atas, aqiqah dilaksanakan karena memang adanya kelahiran bayi. Aqiqah diselenggarakan pada hari ke tujuh dari kelahiran, dan bersamaan dengan itu dicukur rambut sang bayi dan diberi nama. Lalu, muncul pertanyaan, apabila pada hari ke tujuh orangtua belum mampu untuk beraqiqah, apakah boleh menyelenggarakan aqiqah pada hari yang lain?

Pembaca yang budiman, disunnahkan aqiqah memang pada hari ke tujuh dari kelahiran sang bayi. Namun, apabila orangtua belum mampu untuk menyelenggarakan aqiqah pada hari ke tujuh, maka aqiqah bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas. Bila pada hari ke empat belas masih belum mampu, aqiqah bisa diselenggarakan pada hari ke dua puluh satu. Hal ini berdasarkan hadits sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi Saw. telah bersabda: “Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ke tujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh satu.”(HR Baihaqi; hadits ini hasan).

Dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw. bersabda: “Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau ke empat belas, atau ke dua puluh satunya.” (HR Baihaqi dan Thabrani).

Dengan demikian, masih ada kelonggaran waktu apabila orangtua belum mampu menyelenggarakan aqiqah pada hari ke tujuh. Namun, satu hal yang mesti dipahami, kelonggaran ini hanya berlaku bagi orangtua yang benar-benar belum mampu menyelenggarakan aqiqah pada hari ke tujuh. Jadi, bukan karena malas, pelit, atau memang memilih selain hari ke tujuh. Sebab, hadits yang paling kuat dan banyak dijadikan rujukan tentang hari aqiqah adalah pada hari ke tujuh. Namun, apabila pada hari ke tujuh, ke empat belas, ke dua puluh satu orangtua masih juga belum mampu, ya silakan melaksanakan aqiqah pada hari ketika ia mampu.

 

Demikian tulisan sederhana ini dibuat dan semoga bermanfaat bagi kita bersama.

(Sumber: http://muhaiminazzet.wordpress.com/)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.