Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dalam masalah inipun para ulama telah berselisih menjadi dua madzhab.
Madzhab yang pertama : Mengatakan bahwa menghitung jumlah tujuh hari itu ialah dengan memasukkan hari kelahirannya sebagai hari pertama atau dihitung satu hari.
Maka menurut madzhab pertama ini, apabila seorang anak lahir pada hari Ahad misalnya, baik lahirnya pada pagi hari sesudah fajar (shubuh) atau siang hari atau sore hari atau malam hari atau tengah malam sampai sebelum fajar hari Ahad malam Senin sama saja, maka cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Hari Ahad hari pertama (hari kelahiran)
2. Senin hari kedua
3. Selasa hari ketiga
4. Rabu hari keempat
5. Kamis hari kelima
6. Jum’at hari keenam
7. Sabtu hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah.
Sedangkan madzhab kedua : Tidak menghitung hari kelahiran sebagai hari pertama. Jadi cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Senin hari pertama
2. Selasa hari kedua
3. Rabu hari ketiga
4. Kamis hari keempat
5. Jum’at hari kelima
6. Sabtu hari keenam
7. Ahad hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah
Menurut Imam Nawawi madzhab pertamalah yang benar sesuai dengan zhahirnya hadits yakni hadits Samurah bin Jundub, “Disembelih untuknya pada hari ketujuh”. Zhahirnya hari kelahiran dihitung satu hari sebagai hari pertama. Wallahu ‘alam [1]
[Disalin dari buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam, Komplek Depkes Jl. Rawa Bambu Raya No. A2, Pasar Minggu – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 8 hal.431, Tuhfatul Maudud Bab VI Fasal 8.